Tugas Kuliah - Kritik Sastra Dengan Pendekatan Mimetik
Pada kesempatan kali ini saya
diberi tugas oleh dosen matakuliah saya yaitu mengkritik sebuah karya sastra
dan saya memilih unutk mengkritik sebuah cerpen. Cerpen yang ditulis oleh Seno
Gumira Ajidarma. Seprang penulis Indonesia yang memiliki gaya menulis tentang
siatuasi Timor-timur tempo dulu. Beliau merupakan penulis generasi baru di
sastra Indonesia. Pendekatan yang saya gunakan untuk mengkritik karya sastra
yaitu cerpen ‘Gerobak’ adalah pendekatan mimetic.
Pendekatan mimemtik adalah
pendekatan yan dalam mengkaji karya sastra berupa memahami hubungan karya
sastra dengan realitas atau kenyataan. Dalam pendekata mimetic ini karya sastra
dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abraham, 1981)
GEROBAK
Karya Seno Gumira
Ajidarma
Kira-kira sepuluh hari sebelum
Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan muncul di berbagai sudut
kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-tahun belakangan ini.
Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan gerobak
sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk dihela kedua lengan
di depan. Hanya saja gerobak ini ternyata berisi manusia. Dari balik dinding
gerobak berwarna putih itu akan tampak sejumlah kepala yang menumpang gerobak
tersebut, biasanya seorang ibu dengan dua atau tiga anak yang masih kecil,
dengan seorang bapak bertenaga kuat yang menjadi penghela gerobak tersebut.
Karena tidak pernah betul-betul
mengamati, aku hanya melihat gerobak-gerobak itu selintas pintas, ketika sedang
berjalan merayapi berbagai sudut kota. Dari mana dan mau ke mana? Aku tidak
pernah berada di batas kota dan melihat gerobak-gerobak itu masuk kota. Mereka
seperti tiba-tiba saja sudah berada di dalam kota, kadang terlihat berhenti di
berbagai tanah lapang, memasang tenda plastik, menggelar tikar, dan
tidur-tiduran dengan santai. Tidak ketinggalan menanak air dengan kayu bakar
dan masak seperlunya. Apabila tanah lapang sudah penuh, mereka menginap di kaki
lima, dengan plastik menutup gerobak dan mereka tidur di dalamnya. Tidak jarang
mereka memasang juga tenda di depan rumah-rumah gedung bertingkat. Salah satu
dari gerobak itu berhenti pula di depan rumah gedung kakekku.
“Kakek, siapakah orang-orang
yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari manakah mereka datang?”
Kakek
menjawab sambil menghela napas.
“Oh, mereka selalu datang
selama bulan puasa, dan nanti menghilang setelah Lebaran. Mereka datang dari
Negeri Kemiskinan.”
“Negeri Kemiskinan?”
“Ya, mereka datang untuk
mengemis.”
Aku tidak bertanya lebih
lanjut, karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di samping menjadi pejabat
tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah membagi
pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia tangani sendiri.
Dari jendela loteng, kuamati orang-orang di dalam gerobak itu. Anak-anak kecil
itu tampaknya seusiaku. Namun kalau aku setiap hari disibukkan oleh tugas-tugas
sekolah, anak-anak itu pekerjaannya hanya bermain-main saja. Kadang-kadang aku
ingin sekali ikut bermain dengan anak-anak itu, tetapi Kakek tentu saja
melarangku.
“Jangan sekali-sekali mendekati
kere-kere itu,” kata Kakek, “kita tidak pernah tahu apa yang mereka pikirkan
tentang kita.”
“Apa yang mereka pikirkan Kek?”
“Coba saja kamu setiap hari
hidup di dalam gerobak di luar sana. Apa yang akan kamu pikir jika dari
kegelapan melihat lampu-lampu kristal di balik jendela, dalam kerumunan nyamuk
yang berdenging-denging melihat anak kecil berbaju bersih makan es buah dan
pudding warna-warni waktu berbuka puasa?”
Aku tertegun. Apa maksud Kakek?
Apakah mereka akan menculik aku? Ataukah setidaknya mereka akan melompat masuk
jendela dan merampas makanan enak-enak untuk berbuka puasa ini? Aku memang
selalu mendapat peringatan dari orangtuaku untuk hati-hati, bahkan sebaiknya
menjauhi orang yang tidak dikenal. Memang mereka tidak pernah menyebutkan
kata-kata semacam, “Hati-hati terhadap orang miskin,” atau “Orang miskin itu
jahat,” tetapi kewaspadaan Ibu memang akan selalu meningkat dan segera
menggandeng tanganku erat-erat apabila didekati orang-orang yang berbaju
compang-camping dan sudah tidak jelas warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan
mereka yang sudah jebol tepinya, memang selalu kulihat mata yang menatap,
tetapi tak bisa kuketahui apa yang dikatakan mata itu.
Sekarang aku tahu
gerobak-gerobak berwarna putih itu datang dari Negeri Kemiskinan. Di mana
tempatnya, Kakek tidak pernah menjelaskan, tetapi kurasa tentunya dekat-dekat
saja, karena bukankah gerobak itu dihela oleh orang yang berjalan kaki?
Demikianlah gerobak-gerobak itu dari hari ke hari makin banyak saja tampaknya.
Benarkah, seperti kata Kakek, mereka datang untuk mengemis? Aku tidak pernah
melihat mereka mengulurkan tangan di depan rumah- rumah orang untuk mengemis.
Juga tidak kulihat mereka menengadahkan tangan di tepi jalan dengan batok
kelapa atau piring seng di depannya. Jadi kapan mereka mengemis?
Ternyata mereka memang tidak
perlu mengemis untuk mendapat sedekah. Nenek misalnya selalu mengirimkan
makanan yang berlimpah-limpah kepada gerobak yang menggelar tenda di depan
rumah. Ketika kemudian gerobak-gerobak itu makin banyak saja berjajar-jajar di
depan rumah, gerobak-gerobak yang lain itu juga mendapat limpahan makanan pula.
Tampaknya orang-orang yang dianggap berkelebihan diandaikan dengan sendirinya
harus tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah.
Demikian pula manusia-manusia dalam gerobak itu tampaknya merasa, sudah
semestinyalah mereka mendapat limpahan pemberian sebanyak-banyaknya tanpa harus
mengemis lagi. Mereka cukup hanya harus hadir di kota kami dan mereka akan
mendapatkan sedekah yang tampaknya mereka anggap sebagai hak mereka.
Begitulah dari hari ke hari
gerobak-gerobak putih itu memenuhi kota kami, bahkan mobil Kakek sampai sulit
sekali keluar masuk rumah karena gerobak yang berderet-deret di depan pagar. Di
jalan-jalan gerobak itu bikin macet, dan di tepi jalan keluarga gerobak yang
memasang tenda-tenda plastik seperti berpiknik itu sudah sangat mengganggu
pemandangan. Manusia-manusia gerobak ini seperti bersikap dunia adalah milik
mereka sendiri. Sepanjang hari mereka hanya bergolek-golek di atas tikar,
tidur-tiduran menatap langit dengan santai, dan mereka seperti merasa harus
mendapat makanan tepat pada waktunya. Pernah pembantu rumah tangga di rumah
Kakek yang terlambat sedikit mengantar kolak untuk berbuka puasa, karena tentu
mendahulukan Kakek, mendapat omelan panjang dan pendek. Tetangga-tetangga juga
sudah mulai jengkel.
“Tenang saja,” kata Kakek,
“sehabis Lebaran mereka akan menghilang, biasanya kan begitu.”
“Tapi kali ini banyak sekali,
mereka seperti mengalir tidak ada habisnya.”
“Ya, tapi kapan mereka tidak
kembali ke tempat asal mereka? Mereka selalu menghilang sehabis Lebaran, pulang
ke Negeri Kemiskinan.”
Para tetangga tidak membantah.
Mereka juga berharap begitu. Setiap tahun menjelang hari Lebaran
gerobak-gerobak memenuhi kota, tetapi setiap tahun itu pula mereka akan selalu
menghilang kembali.
Pada hari Lebaran,
gerobak-gerobak itu ternyata tidak semakin berkurang. Meskipun kota kami selalu
menjadi sunyi dan sepi setiap kali Lebaran tiba, kali ini kota kami penuh sesak
dengan gerobak yang rupanya setiap hari bertambah dengan kelipatan berganda.
Gerobak-gerobak itu masih saja berisi anak-anak kecil dan perempuan dekil,
dihela seorang lelaki kuat yang melangkah keliling kota. Mereka berkemah di
depan rumah-rumah gedung, mereka tidur-tiduran sambil memandang rumah-rumah
gedung yang indah, kokoh, kuat, asri, dan mewah dari luar pagar tembok. Pada
hari Lebaran, penghuni rumahrumah gedung itu banyak yang pulang kampung,
meninggalkan rumah yang kadang-kadang dijaga satpam, dititipkan kepada
tetangga, atau ditinggal dan dikunci begitu saja.
Lebih dari separuh warga kota
mudik ke kampungnya masing-masing pada hari Lebaran, pada saat yang sama
gerobak-gerobak masuk kota entah dari mana, pasti tidak lewat jalan tol, entah
dari mana, seperti hadir begitu saja di dalam kota. Apabila kemudian warga kota
kembali dari kampung, kali ini gerobak-gerobak itu masih tetap di sana.
Berkemah dan menggelar tikar di sembarang tempat, bahkan sebagian telah pula
masuk, merayapi tembok, melompati pagar, dan hidup di dalam rumah- rumah gedung
itu.
Warga kota yang memasuki
kembali rumah-rumah mereka terkejut, orang-orang yang datang bersama gerobak
itu telah menduduki rumah tersebut, makan di meja makan mereka, tidur di tempat
tidur mereka, mandi di kamar mandi mereka, dan berenang di kolam renang mereka.
Apakah mereka maunya hidup di dalam rumah-rumah gedung yang selalu mereka tatap
dari luar pagar dengan pikiran entah apa dan meninggalkan gerobak mereka untuk
selama-lamanya?
“Mereka masih di sini Kek,
padahal hari Lebaran sudah berlalu,” kataku kepada Kakek.
Lagi-lagi Kakek menghela napas.
“Mereka memang tidak bisa
pulang ke mana-mana lagi sekarang.”
“Bukankah mereka bisa pulang
kembali ke Negeri Kemiskinan?”
“Ya, tetapi Negeri Kemiskinan
sudah terendam lumpur sekarang, dan tidak ada kepastian kapan banjir lumpur itu
akan selesai.”
Sekarang aku mengerti kenapa
orang-orang itu tampak sangat amat dekil. Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka
seperti terbalut lumpur, sehingga kadang-kadang mereka tampak seperti patung
yang bisa hidup dan bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manusia-manusia
gerobak ini memang sangat jarang berkata-kata. Seperti mereka betul-betul
hanyalah patung dan hanya mata mereka akan menatapmu dengan seribu satu makna
yang terpancar dari sana.
Mereka yang tiada punya rumah
di atas bumi, di manakah mereka mesti tinggal selain tetap di bumi?
Kakek merasa gelisah dengan
perkembangan ini.
“Bagaimana nasib cucu-cucu kita
nanti,” katanya kepada Nenek, “apakah mereka harus berbagi tempat tinggal
dengan kere unyik itu?”
“Siapa pula suruh merendam
negeri mereka dengan lumpur,” sahut Nenek, “kita harus menerima segala akibat
perbuatan kita. Heran, kenapa manusia tidak pernah cukup puas dengan apa yang
sudah mereka miliki.”
Aku tidak terlalu paham
bagaimana lumpur bisa merendam Negeri Kemiskinan. Apakah maksudnya lumpur
kemiskinan? Aku hanya tahu, setelah hari Lebaran berlalu, gerobak-gerobak putih
sama sekali tidak pernah berkurang. Sebaliknya semakin lama semakin banyak,
muncul di berbagai sudut kota entah dari mana, menduduki setiap tanah yang kosong,
bahkan merayapi tembok, melompati pagar, memasuki rumah-rumah gedung
bertingkat, tidak bisa diusir dan tidak bisa dibunuh, tinggal di sana entah
sampai kapan. Barangkali saja untuk selama-lamanya.
Pondok Aren,
Minggu, 7 Oktober 2006.
23.30.
Pada cerpen Gerobak karya Seno
Gumara Ajidarma ini menceritakan tentang dampak dari fenomena yang terjadi di
Indonesia yaitu Lumpur Lapindo. Lumpur Lapindo baru terjdi beberapa tahun
belakangan ini di Indonesia akibat kecerobohan perusahaan-perusahaan atau
pabrik industri di Indonesia. 16 desa yang terletak di Provinsi Jawa Timur tenggelam
akibat Lumpur Lapindo itu. Masyarakat yang menjadi korbannya. Jutaan kerugian,
dan masyarakat kehilangan tempat tingggal mereka tentunya. Gerobak dalam cerpen
ini seperti menggambarkan sebuah tempat tinggal masyarakat desa korban lumpur
lapindo yang tak tahu lagi atau putus asa karena mereka kehilangan tempat
tinggal nya. Masyarakat kehilangan segalanya. Harta, rumah, bahkan keluarga. Mereke
memutuskan untuk tinggal dengan apa yang tersisa di dalam gerobak putih yang sama
sekali menurut saya tak layak untuk dijadikan tempat tinggal. Dalam cerpen
gerobak ini latar waktu yang dipakai adalah 10 hari sebelum lebaran teoatnya di
bulan puasa. Gerobak-gerobak putih itu telah kehilangan segalanya sehingga
mereka hanya berharap kepada si pemilik gedung-gedung besar untuk dikasihani.
...................masih belum selesai. upload aja dulu..hehe
...................masih belum selesai. upload aja dulu..hehe
Komentar
Posting Komentar