Kelompok 6-Menulis Esai, Kritik Sastra secara objektif
BAB
I
PENDAHULUAN
. A. Latar
Belakang
Esai adalah karangan prosa
yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi
penulisnya. Pengarang esai disebut esais. Esai sebagai satu bentuk karangan
dapat bersifat informal dan formal.Jenis-jenis esai teerbagi dalam beberapa
macam yaitu esai deskriptif, esai informatif, esai ekspositori, esai persuasif
dan esai pribadi. Sebuah esai bias pembaca nilai jika berdasarkan jenisnya itu
tergantung bagaiamana pembaca menafisrkan esai tersebut.
Di
dalam makalah ini penulis juga memaparkan tentang kritik sastra secara
objektif. Hakikat
karya sastra adalah perpaduan antara hasil imajinasi seorang sastrawan dengan
kehidupan secara faktual. Hasil rekaan manusia itu lebih tinggi nilainya dari
kenyataan, karena sastrawan tidak begitu saja meniru atau meneladani kenyataan.
Oleh karena itu, dalam memahami karya sastra hendaknya pembaca mengenal
berbagai macam teori, yang salah satunya berupa teori objektif yang akan kita
bahas pada makalah ini dan juga
mengetahui bagaimana contoh esai.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
contoh esai?
2. Mengapa
teks tersebut dikatakan esai?
3. Apa
itu kritik objektif?
4. Bagaimana
kritik objektif pada cerpen “Tulisan Kelinci Merah” karya Afrizal?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mendeskripsikan bagaimana contoh esai
2. Untuk
mendeskripsikan ciri-ciri esai
3. Untuk
mendeskripsikan tentang kritik objektif
4. Untuk
mendeskripsikan kritik objektif pada cerpen ‘Tulisan Kelinci Merah’
BAB
II
PEMBAHASAN
Contoh Esai
PERANAN PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA
Pepatah mengatakan, bahwa bangsa yang besar
adalah bangsa yang mengenal sejarahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
selama tiga setengah abad hidup dalam cengkeraman Belanda di tambah lagi hidup
dalam penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun. Kemudian, kemerdekaan yang
kita raih adalah bukti nyata dari sebuah pengorbanan yang sangat besar dari
semua komponen bangsa. Pembangunan Nasional dalam rangka mewujudkan bangsa yang
adil, makmur serta berdaulat dengan berlandaskan azas pancasila serta UUD 1945
tidak akan pernah tercapai jika tidak di dukung oleh semua rakyat Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut asas demokrasi yang bersumber
kepada nilai- nilai kehidupan yang berakar pada budaya bangsa Indonesia.
Perwujudan dari asas demokrasi itu diartikan sebagai paham kedaulatan rakyat,
yang bersumber kepada nilai kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Demokrasi ini juga memberikan penghargaan yang tinggi terhadap nilai- nilai
musyawarah yang mencerminkan kesungguhan dan tekad dari bangsa Indonesia untuk
berdiri diatas kebenaran dan keadilan.
Nilai- nilai kesanggupan dan kerelaan untuk
berkorban dengan penuh keikhlasan dan kejujuran dalam mengisi kemerdekaan demi
kepentingan bangsa dan negara telah digantikan oleh kerelaan berkorban hanya
untuk mengisi kesenangan dan kemakmuran pribadi pihak- pihak tertentu.
Terjadinya Kolusi Korupsi Nepotisme pada masa pemerintahan Orde Baru merupakan
bukti nyata pengingkaran terhadap sikap keikhlasan dan kejujuran. Tidak hanya
itu Indonesia mengalami krisis multidimensi yang semakin pelik, mulai dari
krisis moral, krisis ekonomi, krisis kepercayaan, hingga krisis kepemimpinan.
Tumbanganya pemerintahan Orde Baru pada 21 Mei 1998 masih segar dalam ingatan
kita bahwa pemerintahan yang tidak bersih dan mengabaikan rasa keadilan tidak
akan mendapat dukungan dan kepercayaan dari rakyat.
Disamping itu, peran pemuda dalam mengisi
kemerdekaan serta pembangunan nasional telah memberikan dampak positif bagi
pertumbuhan bangsa. Kepeloporan pemuda dalam pembangunan bangsa dan negara
harus dipertahankan sebagai generasi penerus yang memiliki jiwa pejuang,
perintis dan kepekaan terhadap sosial, politik dan lingkungan. Hal ini
dibarengi pula oleh sikap mandiri, disiplin, dan memiliki sifat yang
bertanggungjawab, inovatif, ulet, tangguh, jujur, berani dan rela berkorban
dengan dilandasi oleh semangat cinta tanah air.
Indonesia membutuhkan pemimpin dari kaum muda
yang mampu merepresentasikan wajah baru kepemimpinan bangsa. Ini bukan tanpa
alasan, karena kaum muda dapat dipastikan hanya memiliki masa depan dan nyaris
tidak memiliki masa lalu. Dan ini sesuai dengan kebutuhan Indonesia kini dan ke
depannya yang perlu mulai belajar melihat ke depan, dan tidak lagi berasyik-masyik
dengan tabiat yang suka melihat ke belakang. Kita harus segera maju ke kepan
dan bukan berjalan ke masa lalu. Dan secara filosofisnya, masa depan itu adalah
milik kaum muda. Mereka lebih steril dari berbagai penyimpangan orde yang telah
lalu. Mereka tidak memiliki dendam masa lalu dengan lawan politiknya. Mereka
tidak memiliki kekelaman masa lalu. Mereka juga tidak memiliki trauma masa lalu
yang sangat mungkin akan membayang-bayangi jika nanti ditakdirkan memimpin.
Lebih dari itu, kaum muda paling memiliki masa depan yang bisa mereka tatap
dengan ketajaman dan kecemerlangan visi serta memperjuangkannya dengan
keberanian dan energi yang lebih baru.
Inilah peluang yang mesti dijemput oleh kaum
muda saat ini. Sebuah peluang untuk mempertemukan berakhirnya umur generasi itu
dengan muara dari gerakan kaum muda untuk menyambut pergantian generasi dan
menjaga perputaran sejarah dengan ukiran-ukiran prestasi baru. Maka, harapannya
adalah bagaimana kaum muda tidak membiarkan begitu saja sejarah melakukan
pergantian generasi itu tanpa kaum muda menjadi subjek di dalamnya.
Pembahasan
Esay
Esai di atas termasuk ke
dalam jenis esai persuasif. Esai persuasif adalah esai yang isinya bisa
memotivasi pembaca untuk melakukan sebuah aksi yang diinginkan oleh penulis. Esai
di atas menjelaskan tentang bagaimana peran pemuda masa kini yang memiliki
banyak peluang untuk membangun bangsa ke arah yang lebih. Esai di atas pun
secara tidak langsung menuntut pemuda Indonesia untuk kritis terhadap
pengalaman dari masalalu untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Mengapa
teks di atas termasuk esai?
1.
Tulisan di atas berbentuk prosa, artinya dalam
bentuk komunikasi biasa, mneghindarkan penggunaan Bahasa dan ungkapan figure
2.
Tulisan di atas tediri dari hal-hal penting dan
yang menarik saja dari topik yang dibahas di dalam tulisan di atas.
3.
Pembahasan dari esai di atas berisi tentang hal
yang bisa memotivasi pembaca.
Kritik Objektif
Kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri,
bebas terhadap lingkungan sekitarnya; dari penyair, pembaca, dan dunia
sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya,
tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan
menghendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan
keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling
berhubungan antar unsur-unsur pembentuknya). Jadi, unsure intrinstik
(objektif) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh
,dsb tetapijuga mencakup kompleksitas, koherensi,
kesinamabungan, integritas, dsb.
Ciri-ciri yang terdapat dalam teori objektif adalah:
1.
Teori objektif memandang karya sastra sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri.
2.
Menghubungkan konsep-konsep kebahasaan
(linguistik) dalam mengkaji suatu karya sastra.
3.
Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra
itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku.
4.
Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh
mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan kaharmonisan semua
unsur-unsur pembentuknya.
5. Struktur
tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan
unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting, point of view.
6.
Untuk mengetahui keseluruhan makna dalam karya
sastra, maka unsur-unsur pembentuknya harus dihubungkan satu sama lain.
Pendekatan kritik sastra jenis ini
menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri. Kritik jenis ini mulai berkembang
sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori:
A. New
Critics di AS
B. Formalisme
di Eropa
C. Strukturalisme
di Perancis
Di Indonesia, kritik jenis ini
dikembangkan oleh kelompok kritikus aliran Rawamangun:
D. "Bentuk
Lakon dalam Sastra Indonesia" karya Boen S. Oemaryati.
E. "Novel
Baru Iwan Simatupang" karya Dami N. Toda.
F. "Pengarang-Pengarang
Wanita Indonesia" karya Th. Rahayu Prihatmi.
G. "Perkembangan
Novel-Novel di Indonesia" karya Umar Yunus.
H. "Perkembangan
Puisi Indonesia dan Melayu Modern" karya Umar Yunus.
I. "Tergantung
pada Kata" karya A. Teeuw.
Kelemahan Pendekatan Objektif :
Menolak unsur-unsur ekstrinsik dalam karya sastra seperti aspek historis,
sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi.
Tulisan Kelinci Merah
Oleh: Afrizal
BAU tanah seperti ladang kenangan, perputaran dari yang
tumbuh tanpa perubahan, dan rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan
pohon, lumut yang memberi warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat
yang membuat hutan seperti konser kebisuan.
Membuat
partiturnya sendiri melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan membusuk. Siklus
kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam
hutan itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.
Matahari
membuat penggaris-penggaris cahaya, mengukur jarak daun menjelang tumbuh dan layu.
Laba-laba membuat sarang dari air liurnya, mengubah waktu seperti jaring-jaring
kematian. Daun kering melayang jatuh. Semuanya seperti anak-anak kalimat yang
membuat sayatan lain dalam induk kalimatnya. Sebuah generalisasi yang justru
berlangsung untuk mengukuhkan perbedaan dalam pelukan hutan.
Hutan dengan
langit-langit kecilnya di antara daun-daun kering yang melayang jatuh,
menyimpan kenangan tentang yang berlalu dan berulang. Akar-akarnya saling
menjalin, merajut tanah dengan air yang membasahinya. Waktu membangun
arsitektur keheningan di dalamnya, terjalin dalam konstruksi kekosongan.
“Krak”
Sebuah dahan
patah dan jatuh. Lepas dari batang pohonnya. Patah dan jatuh yang tak
terbayangkan. Seperti ada pesawat yang gemetar pada setiap pohon tua dalam hutan
itu. Hutan hanya membuat jalan melalui sungai yang dibentuknya sendiri
berdasarkan gerak dan berat air, menelusuri relung-relung tanah. Ke bawah dan
ke bawah, menemui relung-relung lainnya. Jalan yang tidak pernah berbalik
melawan hutan itu sendiri. Uap putih tipis terus membubung, berangsur-angsur,
dari daun-daun yang membusuk menjadi udara. Tak ada halaman belakang dan tak
ada halaman depan. Sebuah sirkuit kehidupan dan kematian yang tidak memisahkan
kedatangan dan kepergian. Ruang yang membatalkan semua awal dan akhir. Denyut
hutan menembus ke dalam yang bukan aku lagi.
Nama hutan itu
Arca Domas. Dilindungi oleh pikukuh,
ketentuan adat yang tak boleh dilanggar. Pikukuh yang membatalkan listrik dan mesin, pikukuh yang tak boleh melukai tanah. Tanah tidak
boleh digali, dipacul atau dibajak. Kontur tanah harus tetap terjaga dari
erosi. Tanah hanya boleh ditusuk dengan bambu yang ujungnya telah diruncingi
untuk kemudian ditanami. Pikukuh yang melarang menggunakan sabun, kaca
maupun cermin. Pikukuh yang terus-terusan membatalkan
perubahan. Kayu panjang tak boleh dipotong, kayu pendek tak boleh disambung.
Dalam hutan
Arca Domas itu, sepanjang waktu yang terdengar hanyalah berbagai jenis suara
serangga, burung, dan suara binatang lainnya. Tidak ada suara lain. Kini, hutan
dalam rajutan berbagai frekuensi tinggi-rendahnya desing suara serangga,
berulang, konstan, terdapat tiga orang makhluk. Mereka bertiga merasa telah
terperangkap hidup di bumi melalui sebuah peristiwa yang tidak mereka mengerti.
Peristiwa itu terjadi begitu saja. Berangsur-angsur, seperti berubahnya ulat
menjadi kupu-kupu. Mereka bertiga juga tidak tahu asal-usul mereka.
Telah
berhari-hari ketiga makhluk itu mondar-mandir dalam hutan itu, memakan apa saja
yang bisa mereka makan. Di bumi, untuk pertama kalinya mereka merasakan tentang
lapar, lelah, dan sakit. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal hidup,
usia, waktu, cinta, kesepian, bosan. Sesuatu yang harus membuat mereka waspada.
Mulai mengenal kesedihan, kebahagiaan, kenangan, dan kematian. Untuk pertama
kalinya juga mereka mengenal tentang konsep Tuhan, alam semesta, dan keturunan.
Konsep-konsep yang aneh karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana lumut
diciptakan. Bagaimana tanah ada. Kesadaran yang kemudian lebih banyak
dipelihara melalui kepanikan, seakan-akan ada dunia lain sebelum ada dan
setelah ada yang membayanginya.
Bayangan yang
membuat malam dan siang. Bayangan yang mulai membelah ruang di sana dan di
sini. Mereka mulai belajar merangkak dalam hutan itu, belajar berdiri, berjalan,
berjalan maju dan mundur, berputar, melompat, tidur dan belajar menghapus air
mata. Belajar memanjat, mandi dan berenang di sungai. Belajar membedakan
bentuk-bentuk dan warna, cuaca, membedakan bau tanah dan bau tubuh mereka.
Belajar mengalami yang telah berlalu dan yang akan dilalui. Belajar membedakan
antara aku, kamu, dan dia. Mereka mulai memberi nama-nama dari yang mereka
alami, menjadi kata yang menyimpan pengertian-pengertian dari yang pernah
mereka alami. Belajar membuat kalimat untuk menyimpan kisah-kisah dari yang
mereka alami. Akhirnya mereka mengukuhkan keterperangkapannya melalui bahasa.
Mereka ketakutan ketika mengetahui nafsu untuk hidup begitu menguasai mereka.
Sehingga mereka mulai berburu, memakan binatang, memakan bentuk-bentuk kehidupan
lainnya.
“Punten”
Mereka
terkejut sendiri dengan ungkapan ini. Rasanya dalam, seperti ada liang dalam
diri mereka. Liang yang membuat tangan mereka seperti tenggelam ketika
mengucapkannya. “Punten.” Ungkapan permisi yang menghidupkan
seorang aku sebagai seorang kamu juga. Ungkapan yang membuat liang dalam
dirinya seperti terbuka dan mengisap semua keangkuhan dan perbedaan ke dalam
konstruksi kekosongan. Ungkapan yang membuat mereka tahu bahwa hutan juga
memiliki ruang dalamnya. Seperti ruang tamu yang terbuat dari aspal, batubara,
berbagai logam, gas, dan minyak tanah.
Aku tidak bisa
melihat ketiga makhluk itu. Aku merasakan mereka hanya melalui perpindahan
gerak angin saat mereka berjalan di sampingku atau melalui dengus mereka.
Mereka tidak bisa aku lihat. Tetapi mereka ada. Mereka seperti menggerakkan
tanganku untuk menuliskan semua ini, sebagai penulis yang dipinjam.
Awalnya aku
melihat seorang gadis yang berjalan bersama seekor kelinci berwarna merah dalam
hutan itu. Gadis dan kelinci berwarna merah yang berada di tengah hutan seperti
ini telah membuatku takjub. Aku seperti baru saja bertemu dengan kehidupan
lain. Aku mengikuti gadis bersama kelinci merah itu. Sekali-kali gadis itu
menoleh ke arahku. Tetapi mereka tetap berjalan, masuk lebih dalam lagi ke
dalam hutan. Kelinci merahnya melompat-lompat. Matanya hitam, jernih, tanpa
prasangka. Bulu lembutnya seperti menyimpan cahaya. Daun telinganya yang
panjang menjulang ke atas. Kadang kelinci itu menatapku, lalu melompat-lompat
lagi mengejar gadis itu. Kadang aku kehilangan mereka. Kadang mereka terlihat
lagi, masih terus berjalan seperti sebelumnya. Kadang mereka seperti berada di
sebuah padang rumput yang tidak ada batasnya, mengubah hutan menjadi hamparan
rumput yang memenuhi seluruh yang bisa kulihat.
“Siapakah
gadis itu? Siapakah kelinci merah itu?”
Setiap
pergantian tahun, Pendeta Bumi, yang telah ada sebelum keterperangkapan ketiga
makhluk itu, melakukan upacara Seren Taun, upacara pergantian tahun dengan
seluruh umatnya sebagai Urang Kanekes, Baduy. Upacara yang sama juga
berlangsung di Kanekes, Lebak, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi,
Kampung Naga, Cigugur, dan Kuningan. Sebuah agama Buhun yang telah ada jauh
sebelum agama-agama polytheis dan monotheis menguasai dunia. Mereka menjaga hidup
melalui pikukuh yang mereka rawat.
Mereka semua,
sebagai urang Kanekes yang jumlahnya 11.174, termasuk anak-anak kecil, duduk
bersila dalam upacara itu. Semuanya mengenakan pakaian putih-putih dan
hitam-hitam, tanpa alas kaki. Mereka berkumpul seperti hutan dalam arsitektur
keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak ada satu pun di antara mereka yang
bicara atau bercakap-cakap. Mereka duduk seperti mandita, bertapa untuk menjaga
harmoni hutan. Ketika mereka mulai bernyanyi bersama, jumlah 11.174 orang itu
tetap merupakan bagian dari arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan.
Tidak berubah menjadi kekuasaan mayoritas. Partitur-partitur kekosongan
mengalun melalui nyanyian mereka.
Nyanyian merdu
dan indah yang membuat seperti ada angin berembus dari tubuh mereka, gemericik
air sungai, bahkan tanah tidak merasakan kehadiran dan keberadaan mereka.
Mereka yang hanya hidup dengan cara tidak ingin mencelakakan orang lain atau
melakukan yang tidak disenangi orang lain. Mereka mengikuti jalan air, bukan jalan
api. Antiperang, melukai atau membunuh. Kalau kamu mau hidup, yang lain juga
boleh hidup.
Pendeta Bumi
menyatakan tiga syarat untuk bisa membebaskan diri dari bumi: melanggar adat
istiadat, menjadi gila atau bunuh diri. Ketiga orang makhluk itu seperti terbakar
mendengar persyaratan itu. Mereka sudah tidak tahan berada di bumi. Tidak tahan
berada bersama planet yang tidak masuk akal ini, di mana kehidupan dijalani
hanya untuk menunggu datangnya kematian. Dan selama penungguan itu, orang
menciptakan berbagai versi kehidupan: berbuat jahat kepada orang lain atau
berbuat baik. Membunuh orang lain atau menyelamatkan orang lain. Menguasai atau
membebaskan. Merampok orang lain atau menolong orang lain. Korupsi atau hidup
dari kerja keras yang dilakukan sendiri. Bertemu atau berpisah. Mengakui
kepercayaannya sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain.
Mereka mulai
terbakar mendengar ketiga persyaratan itu. Semakin besar api membakar mereka
untuk bisa membebaskan diri dari dunia, mereka merasa semakin terperangkap
dalam bumi. Lapisan-lapisan perangkapnya semakin bertambah banyak. Setiap
lapisan dipenuhi teriakan, jeritan, dan tangisan. Benda-benda di sekitar mereka
bertambah banyak. Benda-benda untuk tidur, untuk mandi, untuk makan, untuk
berjalan, untuk melihat, untuk berkata-kata, untuk mencium, untuk membeli dan
menjual. Padahal tubuh mereka hanya satu, tunggal. Tetapi benda-benda yang
mengelilingi mereka membuat tubuh dan diri mereka menjadi majemuk. Mereka
berjalan dan hidup bertambah berat bersama dengan seluruh benda itu. Napas dan
jantung mereka kian sesak.
Mereka bertiga
saling melihat dan saling menunggu, syarat apa yang harus mereka ambil di
antara ketiga syarat itu agar mereka bisa membebaskan diri dari perangkap bumi?
Semakin mereka saling melihat, tubuh dan diri mereka bertambah majemuk.
Bertambah banyak dengan lipatan 3, dan lipatan 3 lagi, dan lipatan 3 lainnya
yang tak ada ujungnya. Akhirnya mereka melihat ke dalam diri mereka
masing-masing. Mencoba mendengar tubuh mereka di luar bahasa. Mereka mulai
memasuki tubuh mereka sendiri seperti memasuki air yang dipenuhi akar-akar
tanaman dan daun-daunan. Bau rempah-rempah dan bau sperma.
Aku lihat
gadis bersama kelinci merah itu melayang-layang dalam hutan. Ia menyanyikan
nyanyian cinta yang tidak kumengerti. Tubuhnya mengeluarkan uap yang wangi.
Tubuh yang seakan-akan diciptakan dari wangi kembang melati.
“Punten,” kataku kepada gadis itu, ketika ia melayang di atas
kepalaku. Gadis itu hanya tersenyum, lalu kembali menghilang dalam kerimbunan
hutan. Tetapi wangi kembang melatinya seperti menetap. Upacara kemudian
berakhir. Penguasa bumi dan umatnya meninggalkan tempat upacara. Hutan kembali
hening. Suara-suara serangga, burung, dan binatang-binatang lainnya mulai
kembali terdengar.
Ketiga orang
makhluk itu tidak menempuh satu pun dari 3 persyaratan untuk bisa meninggalkan
bumi. Mereka memilih diam, bisu, seperti para Urang Kanekes itu. Mereka mulai
belajar melupakan bahasa. Belajar untuk tidak percaya bahwa mereka berpikir.
Belajar tidak melihat dengan melihat. Belajar berjalan dengan tidak berjalan.
Mereka mulai membatalkan suara-suara serangga dalam hutan itu dengan mendengar
untuk tidak mendengar. Membatalkan seluruh isi hutan dengan melihat tanpa
mengakui yang dilihat.
Mereka mulai
merasakan telah memasuki ketiga persyaratan itu tanpa patuh dan tanpa mengikuti
ketiga persyaratan itu. Yaitu dengan cara tiada. Menjadi yang hyang.
Bersembunyi agar “ada” tidak menjebloskan mereka kembali ke dalam fiksi
“keberadaan”. Ketiga orang makhluk itu lalu mulai melihat yang dilihat menjadi
mengelotok, mengelupas, lalu berubah menjadi yang tak terlihat. Pohon,
daun-daun, batang-batang pohon, batu, lumut, tanah, serangga, burung, semua
dalam hutan itu mulai mengelotok, mengelupas, dan berubah menjadi yang tak
terlihat. Semuanya bergerak menjadi yang hyang, yang hilang tetapi ada. Tak
terlacak, tetapi ada.
Gadis bersama
kelinci merah itu kembali muncul. Ia berdiri di atas sebuah batu besar. Kelinci
merahnya melompat-lompat, berjalan ke arahku. Kedua daun telinganya seperti
antena yang bergerak-gerak. Kelinci merah itu kini telah berada di depanku. Aku
menyentuhnya, lalu memeluk dan menggendongnya. Ia mulai mengendus-endus
hidungku, seperti berusaha mengenali bau tubuhku. Lalu ia mengembuskan napasnya
berkali-kali ke hidungku. Aku mengisap bau napasnya. Gadis itu memanggilnya.
Kelinci merah bergerak, dan melompat dari gendonganku, berlari ke arah gadis
itu.
Mereka
kemudian kembali menghilang. Kini sunyi. Suara serangga juga tidak terdengar.
Aku mencoba mengingat kembali bau napas yang dikeluarkan dari hidung kelinci
itu. Aku mencoba membandingkannya dengan bau napasku sendiri, dengan cara
mengembuskan napasku ke telapak tanganku yang kubuat seperti bentuk mangkuk.
Lalu aku mencium bau bekas napasku yang masih tertinggal di telapak tanganku.
Bau napasku
ternyata sama dengan bau napas kelinci merah itu.
Setelah
peristiwa itu, aku tidak pernah melihat bayanganku lagi. Tubuhku seperti tidak
memiliki lagi bayangan, walau cahaya datang dari berbagai sudut. Sementara itu
ketiga orang makhluk itu, kini tinggal di hulu sebuah sungai. Sungai Ciujung di
pegunungan Kendeng. Mereka hidup hanya untuk menjaga air di hulu sungai itu.
Mereka tidak lagi meminjam tanganku untuk menulis. Karena air terus mengalir,
menulis kisah-kisahnya.
Pembahasan:
1)
Tema : Kehidupan statis
2)
Alur : maju (progresif)
3)
Latar :
I.
Latar tempat : Hutan Arca Domas
Kutipan cerpen : “Nama hutan
itu Arca Domas. Dilindungi oleh pikukuh, ketentuan adat yang tak boleh
dilanggar.” (Paragraf 6)
“Dalam hutan
Arca Domas itu, sepanjang waktu yang terdengar hanyalah berbagai jenis suara
serangga, burung, dan suara binatang lainnya.” (Paragraf 7)
II.
Latar sosial : di tengah Pikukuh Urang
Kanekes, Baduy yang menjauhkan diri dari peradaban modern seperti teknologi dan
ilmu pengetahuan. Masyarakat di dalamnya buta aksara dan hidup dengan berpegang
teguh pada adat istiadat dan tradisinya. Mereka hidup menjaga keharmonisan
alam. Kehidupan mereka statis karena tidak ada perubahan yang berarti. Urang
kanekes menjaga harmonisasi hidup mereka dengan alam tanpa merusak atau
memperbaharuinya. Tidak ada dinamika kehidupan.
Kutipan cerpen : “Bau tanah
seperti ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan
rumah-rumah air tanpa banjir”. (Paragraf 1)
“Siklus
kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam
hutan itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.” (Paragraf 2)
“Pikukuh
yang membatalkan listrik dan mesin, pikukuh yang tak boleh melukai tanah. Tanah
tidak boleh digali, dipacul atau dibajak. Kontur tanah harus tetap terjaga dari
erosi. Tanah hanya boleh ditusuk dengan bambu yang ujungnya telah diruncingi
untuk kemudian ditanami. Pikukuh yang melarang menggunakan sabun, kaca maupun
cermin. Pikukuh yang terus-terusan membatalkan perubahan. Kayu panjang tak
boleh dipotong, kayu pendek tak boleh disambung.” (Paragraf 6)
4)
Penokohan :
I.
Aku : Peka, sensitif
Kutipan cerpen : “Aku tidak
bisa melihat ketiga makhluk itu. Aku merasakan mereka hanya melalui perpindahan
gerak angin saat mereka berjalan di sampingku atau melalui dengus mereka.
Mereka tidak bisa aku lihat. Tetapi mereka ada.” (Paragraf
11)
II.
3 Makhluk : Tangguh
Kutipan cerpen : “Telah berhari-hari ketiga makhluk itu mondar-mandir
dalam hutan itu, memakan apa saja yang bisa mereka makan.”
“Mereka mulai belajar merangkak dalam hutan itu,
belajar berdiri, berjalan, berjalan maju dan mundur, berputar, melompat, tidur
dan belajar menghapus air mata. Belajar memanjat, mandi dan berenang di sungai.
Belajar membedakan bentukbentuk dan warna, cuaca, membedakan bau tanah dan bau
tubuh mereka. Belajar mengalami yang telah berlalu dan yang akan dilalui.
Belajar membedakan antara aku, kamu, dan dia. Mereka mulai memberi nama-nama
dari yang mereka alami, menjadi kata yang menyimpan pengertian-pengertian dari
yang pernah mereka alami. Belajar membuat kalimat untuk menyimpan kisah-kisah
dari yang mereka alami. Akhirnya mereka mengukuhkan keterperangkapannya melalui
bahasa. Mereka ketakutan ketika mengetahui nafsu untuk hidup begitu menguasai
mereka. Sehingga mereka mulai berburu, memakan binatang, memakan bentuk-bentuk
kehidupan lainnya.” (Paragraf 9)
5)
Sudut Pandang: Cerpen ini menggunakan
sudut pandang orang pertama karena yang berkisah adalah tokoh ‘Aku’. Tokoh
‘Aku’ yang mengisahkan jalannya cerita.
6)
Gaya Bahasa :
I.
Personifikasi : gaya bahasa yang
menghidupkan benda-benda mati
-
“Matahari membuat penggaris-penggaris cahaya, mengukur
jarak daun menjelang tumbuh dan layu. Laba-laba membuat sarang dari air
liurnya, mengubah waktu seperti jaring-jaring kematian.”(Paragraf 3)
-
“Hutan dengan langit-langit kecilnya di antara
daun-daun kering yang melayang jatuh, menyimpan kenangan tentang yang berlalu
dan berulang. Akar-akarnya saling menjalin, merajut tanah dengan air yang
membasahinya. Waktu membangun arsitektur keheningan di dalamnya, terjalin dalam
konstruksi kekosongan.”(Paragraf 4)
-
“Ruang yang membatalkan semua awal dan akhir. Denyut
hutan menembus ke dalam yang bukan aku lagi.”(Paragraf 5)
-
“......air terus mengalir, menulis kisah-kisahnya.”(Paragraf
28)
II.
Perbandingan/Simile :
-
“Bau tanah
seperti ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan
rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan pohon, lumut yang memberi
warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat yang membuat hutan
seperti konser kebisuan.”(Paragraf 1)
-
“Siklus kehidupan dan kematian yang rumit dan
kompleks berlangsung sepanjang hari dalam hutan itu, seperti sebuah pertapaan
untuk waktu.(Paragraf 2)
-
“Laba-laba membuat sarang dari air liurnya, mengubah
waktu seperti jaring-jaring kematian. Daun kering melayang jatuh. Semuanya
seperti anak-anak kalimat yang membuat sayatan lain dalam induk kalimatnya.”(Paragraf 3)
-
“Mereka terkejut sendiri dengan ungkapan ini. Rasanya
dalam, seperti ada liang dalam diri mereka.”(Paragraf 10)
-
“Ungkapan
yang membuat mereka tahu bahwa hutan juga memiliki ruang dalamnya. Seperti
ruang tamu yang terbuat dari aspal, batubara, berbagai logam, gas, dan minyak
tanah.”(Paragraf 10)
-
“Mereka
mulai memasuki tubuh mereka sendiri seperti memasuki air yang dipenuhi
akar-akar tanaman dan daun-daunan.”(Paragraf 19)
Cerpen
Tulisan Kelinci Merah ini adalah tipikal cerpen yang harus melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan hermeneutik harus didahului oleh pembacaan
heuristik. Pembacaan hermeneutik disebut juga pembacaan retroaktif, memerlukan
pembacaan berkali-ollkali
dan kritis. Sementara pembacaan heuristik adalah sistem semiotik tingkat
pertama (Nurgiyantoro,1995:33). Pemahaman makna sebagaimana yang sudah
disepakati bahasa. Kerja pembacaan ini menghasilkan pemahaman makna secara
harfiah atau tersurat. Namun, dalam sastra penulis justru menyampaikan pesan
atau gagasan secara tersirat. Oleh sebab itu, penafsiran karya sastra harus
sampai pada tahap hermeneutik atau sistem semiotik tingkat kedua. Berdasarkan
analisis hasil pembacaan heuristiknya dipahami lagi atau ditafsirkan kembali
untuk mencari makna tersiratnya. Mensignifikansi semiotik tingkat kedua
dibutuhkan pengetahuan tentang kode-kode sastra dan budaya tak hanya kode
bahasa secara harfiah.
Cerpen yang ditulis oleh Afrizal Malna ini bertemakan
tentang kehidupan yang statis.di dalam cerpen ini diceritakan masyarakat suku
baduy memiliki aturan yang tidak boleh dibantah atau bersifat mutlak sehingga
menghasilkan gambaran kehidupan suku baduy yang statis atau tidak ada perubahan
besar. Cerpen ‘tulisan kelinci merah’ ini menggambarkan Hutan Arca Domas
sebagai latar tempat. Yang bisa dilihat pada kutipan “nama hutan itu Arca Domas.
Dilindungi oleh pikukuh, ketentuan
adat yang tidak boleh dilaanggar”. Di dalam cerpen ini pun terdapat latar
sosial yang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat suku baduy yang menjaga
keharmonisan alam dan juga berpegang teuh pada adat dan istiadat tradisinya.
Akan
tetapi cerpen karya Afrizal Malna ini cukup sulit ditafsirkan makna oleh awam
sebab awam cenderung melakukan penafsiran melalui kerja heuristik. Alur nya
yang ‘melompat-lompat’ agak menyulitkan awam. Ambil contoh, ketika tokoh ‘Aku’
mengungkapkan bahwa ia merasa sebagai penulis yang dipinjam paragraf melompat
ke awal ia bertemu gadis dan kelinci merah. Usai dengan gadis dan kelinci
merah, plot lalu merambah ke adat istiadat Urang Kanekes. Tidak adanya dialog
menyulitkan pembaca menganalisis karakter tiap tokoh. Namun, ada cerpen karya Afrizal ini alur cerita yang
digambarkan keseluruhannya adalah alur maju.
Cerpen ini memiliki unsur tokoh Aku sebagai tokoh yang
peka dan sensitif, yang mana tokoh Aku sebagai penguat sudut pandang orang
pertama pelaku utama. Namun kehadiran tokoh 3 makhluk misterius yang
diceritakan bersifat tangguh dan kritis membuat cerpen ini seperti memiliki 2
sudut pandang. Terlihat dari “ketiga orang makhluk itu tidak menempuh satu pun
dari tiga persyaratan untuk bisa tinggal di bumi....”
Tidak
ada korelasi antara gadis dan kelinci merah dengan tiga makhluk yang terperangkap
di hutan Arca Domas. Afrizal nampaknya berhasil menghadirkan kompleksitas dalam
cerpennya akan tetapi tak adanya koherensi dan integritas antartokoh membuat
sulit untuk menentukan sudut pandang penceritaan antara sudut pandang orang pertama denga sudut pandang
orang ketiga serba tahu. Namun, pada cerpen ini ditemukan pada kutipan “aku
tidak bisa melihat ketiga makhluk itu......” lalu, “aku melihat shaeorang gadis
yang berjalan bersama seekor kelinci berwarna merah.......”. Hal itu memperkuat
bahwa sudut pandang pada cerpen ini menggunakan sudut pandang orang pertama
pelaku utama.
Meskipun
begitu Afrizal mampu mempermainkan pembaca melalui plot yang melompat-lompat
dan kebisuan antartokoh yang
dikarenakan gaya bahasa yang dihasilkan oleh afrizal ini meenggunakan
majas-majas yang sedikit membingungkan pembaca, seperti menghidupkan
benda-benda mati dan melakukan perbandingan antar objek.. Gaya
bahasa yang digunakan menghidupkan suasana sehingga membangkitkan reaksi psikologis ‘make believe’.
Cerpen “Tulisan Kelinci Merah” karya Afrizal ini termasuk
cerpen yang bagus dan berkesan untuk dibaca. Terlepas dari segala bentuk
kerumitan alur yang digambarkan oleh penulis menjadikan cerpen ini memiliki
ciri khas yang sangat kuat.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Esai adalah
karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut
pandang pribadi penulisnya. Pengarang esai disebut esais. Esai sebagai satu
bentuk karangan dapat bersifat informal dan formal.
Kritik
objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap
lingkungan sekitarnya; dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya
sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari
bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan menghendaki
pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan
keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling
berhubungan antar unsur-unsur pembentuknya). Jadi, unsure intrinstik
(objektif) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh
,dsb tetapijuga mencakup kompleksitas, koherensi,
kesinamabungan, integritas, dsb.
B. Saran
Dalam penulisan
makalah ini yang ditugaskan untuk memenhi tugas pada mata kuliah menulis kritik
dan esai ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu penulis
memohon kepada pembaca agar memrikan saran dan kritik demi penulisan
selanjutnya.
Chaterina Gultom
Ilmy Mulky Muzni
Triolivia Nababan
Rini Trisda Apriliani
Komentar
Posting Komentar